Oleh: Dhita Karuniawati )*
Pemerintah Indonesia resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pembatasan penggunaan media sosial bagi anak-anak sebagai langkah preventif untuk melindungi kesehatan mental mereka di tengah derasnya arus informasi digital. Langkah ini menjadi respons atas meningkatnya kekhawatiran publik terhadap dampak negatif media sosial terhadap perkembangan psikologis anak dan remaja.
PP ini menjadi bagian dari komitmen pemerintah dalam menciptakan ruang digital yang sehat, aman, dan ramah anak. Dalam peraturan tersebut, terdapat sejumlah ketentuan yang mengatur usia minimal penggunaan media sosial, durasi penggunaan harian, hingga kewajiban platform digital dalam menyaring konten yang tidak layak konsumsi bagi anak-anak.
Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggara Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). PP Tunas menjadi dasar hukum baru bagi perlindungan anak di ruang digital.
Prabowo mengatakan PP Tunas dibuat untuk menjamin setiap anak aman dan sehat di ruang digital. Dia menegaskan pemerintah ingin anak-anak mendapatkan manfaat yang baik dari perkembangan teknologi.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengatakan PP Tunas merupakan wujud nyata kehadiran negara untuk menjamin keamanan anak di lingkungan digital. Sebab, satu dari tiga pengguna internet di Indonesia itu adalah anak-anak.
PP Tunas pun menjadi dasar hukum baru yang mengatur kewajiban penyelenggara platform digital dalam menjamin perlindungan anak sebagai pengguna internet. Negara ingin menciptakan ruang digital yang aman, sehat, dan ramah bagi anak.
Pemerintah membuka ruang partisipasi publik dalam proses penyusunan Peraturan Menteri yang akan mengatur secara lebih teknis pelaksanaan kebijakan ini. Keterlibatan masyarakat diharapkan dapat memperkuat implementasi PP Tunas agar sesuai dengan kebutuhan anak dan dinamika ekosistem digital.
Pemerintah memberikan masa transisi selama dua tahun bagi seluruh penyelenggara sistem elektronik untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan kebijakan TUNAS. Selama masa tersebut, fungsi lembaga mandiri akan dijalankan sementara oleh Kementerian Komunikasi dan Digital hingga terbentuk lembaga independen melalui Peraturan Presiden.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyambut positif disahkannya Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). Komisioner KPAI Aris Adi Leksono mengatakan perlu regulasi yang melindungi kerentanan anak-anak di ranah daring.
Komisioner KPAI Aris Adi Leksono mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik terbitnya PP tersebut. Karena situasi kerentanan anak di dunia daring sudah darurat, sehingga perlu langkah perlindungan dari hulu hingga hilir, dari produsen aplikasi yang merusak tumbuh kembang anak hingga mengoptimalkan peran keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat.
Aris Adi Leksono berharap PP Tuntas dapat diterapkan secara masif sehingga tercipta ruang digital yang ramah bagi anak. Ke depan penting penguatan literasi digital untuk anak dan keluarga, sehingga tercipta ketahanan dan kontrol dari diri anak untuk dapat memilih dan memilah akses internet yang sehat dan yang tidak sehat.
Senada, Anggota Komisi I DPR RI, Amelia Anggraini mengatakan bahwa perlindungan data anak merupakan bagian integral dari kedaulatan digital Indonesia. Itu disampaikan merespons Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Kelola untuk Anak Aman dan Sehat Digital atau PP Tunas. Kebijakan ini menunjukkan komitmen negara dalam memastikan ruang digital Indonesia menjadi lingkungan yang aman, sehat, dan mendukung tumbuh kembang anak-anak Indonesia.
Amelia menilai PP Tunas komprehensif mulai dari pengaturan pembuatan akun digital berdasarkan kelompok usia anak, hingga keharusan persetujuan dan pengawasan orangtua.
Amelia memberikan dukungan penuh terhadap ketentuan larangan profiling terhadap anak untuk tujuan komersial, yang ditetapkan dengan dasar bahwa data pribadi anak tidak boleh dieksploitasi. Apalagi, kebijakan ini disertai dengan sanksi administratif yang tegas bagi platform yang melanggar, mulai dari teguran, denda, hingga penghentian layanan dan pemutusan akses.
Amelia menilai pendekatan dalam PP itu memperkuat pengawasan, memperluas edukasi digital, serta mendorong kolaborasi lintas sektor termasuk lembaga pendidikan, masyarakat sipil, dan platform digital untuk melindungi anak-anak di ranah digital.
Amelia mencontohkan di Uni Eropa, General Data Protection Regulation (GDPR) melarang pengumpulan data anak di bawah usia 16 tahun tanpa persetujuan orang tua. Kemudian, di Amerika Serikat, Childrens Online Privacy Protection Act (COPPA) mewajibkan situs web dan layanan digital untuk memperoleh izin orang tua sebelum mengakses informasi anak di bawah usia 13 tahun.
Keberhasilan implementasi PP ini tidak hanya bergantung pada pemerintah dan platform digital, tetapi juga membutuhkan keterlibatan aktif dari orang tua, pendidik, dan masyarakat luas. Orang tua perlu meningkatkan literasi digital agar mampu menjadi pendamping yang baik bagi anak dalam menggunakan teknologi. Sekolah harus menjadi ruang edukasi digital yang inklusif, bukan hanya tempat belajar akademik.
Sementara itu, kerja sama lintas negara juga dibutuhkan, mengingat sebagian besar platform media sosial berskala global. Pemerintah Indonesia akan terus menjalin komunikasi dengan pengembang platform untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi lokal.
Terbitnya Peraturan Pemerintah tentang pembatasan penggunaan media sosial bagi anak merupakan langkah progresif yang patut diapresiasi. Di tengah dunia digital yang semakin kompleks, melindungi kesehatan mental anak adalah tanggung jawab bersama. Harapannya, dengan regulasi ini, anak-anak Indonesia dapat tumbuh dalam lingkungan digital yang sehat, produktif, dan bebas dari pengaruh negatif media sosial.
*) Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia
[edRW]