Oleh: James Sidabutar )*
Pemerintah dan DPR RI tengah memasuki babak penting dalam sejarah penyiaran nasional melalui pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Rancangan ini tidak hanya merevisi pasal-pasal lama, tetapi juga berupaya menjawab tantangan besar dunia digital masa kini, termasuk isu strategis mengenai penggunaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam jurnalisme. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi I DPR RI bersama Kementerian Komunikasi dan Digital serta sejumlah lembaga penyiaran nasional, muncul kesadaran bersama bahwa regulasi penyiaran harus adaptif terhadap kemajuan teknologi, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar demokrasi, terutama kebebasan pers.
Fenomena penggunaan AI dalam produksi konten jurnalistik bukan lagi sesuatu yang futuristik, melainkan sudah menjadi praktik nyata di lembaga penyiaran. Direktur Utama TVRI, Iman Brotoseno, secara terbuka menyampaikan bahwa lembaganya telah menggunakan teknologi AI untuk menghasilkan konten berita dalam waktu cepat dan efisien. Ia bahkan menyebutkan bahwa dalam sebuah tugas peliputan dialog presiden, dirinya menggunakan teknologi AI untuk memproduksi konten.
Pernyataan Iman menjadi bukti nyata bahwa dunia jurnalistik telah memasuki era baru di mana kecepatan dan efisiensi menjadi kebutuhan, bukan lagi keistimewaan. Namun, penggunaan AI dalam produksi berita juga menghadirkan dilema etika, tanggung jawab editorial, dan potensi penyalahgunaan informasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi revisi UU Penyiaran untuk menghadirkan kerangka hukum yang jelas dan tegas mengenai batasan, mekanisme verifikasi, serta pertanggungjawaban konten yang dihasilkan oleh mesin.
Direktur Utama Perum LKBN Antara, Akhmad Munir, berharap revisi UU Penyiaran dapat menjadi fondasi untuk menciptakan model bisnis yang lebih adil di tengah dominasi platform digital global. Pernyataan ini mencerminkan kegelisahan industri media nasional terhadap ketimpangan perlakuan antara media konvensional yang diawasi secara ketat, dan media digital yang beroperasi hampir tanpa regulasi.
Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Imam Sudjarwo, menilai bahwa UU Penyiaran saat ini sudah sangat usang dan tidak lagi relevan dalam menghadapi tantangan ekosistem media digital. Ia menyoroti perlunya kesetaraan regulasi antara televisi nasional dan platform digital dalam hal pengawasan konten dan aspek finansial. Ketimpangan ini, jika dibiarkan, akan mematikan pelan-pelan industri penyiaran nasional yang selama ini menjadi benteng penyebaran informasi yang berimbang dan bertanggung jawab.
Penting dicatat bahwa revisi UU Penyiaran bukan semata-mata soal teknologi dan bisnis. Ini juga menyangkut arah masa depan demokrasi kita. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, menyatakan bahwa undang-undang yang sedang digodok ini diharapkan mampu bertahan hingga 50 tahun ke depan. Komitmen ini patut diapresiasi, karena menunjukkan tekad legislator untuk tidak hanya menciptakan regulasi jangka pendek, tetapi juga kebijakan yang berdaya tahan dan relevan lintas generasi.
Adapun revisi undang-undang ini juga tetap dilakukan dengan kehati-hatian. Setiap perubahan dalam regulasi pers akan dirumuskan dengan pendekatan partisipatif. Pemerintah dan DPR perlu terus mendengarkan suara para praktisi media, akademisi, dan masyarakat sipil agar revisi UU Penyiaran benar-benar mencerminkan semangat demokrasi, keterbukaan informasi, dan perlindungan terhadap jurnalisme yang independen.
Isu lain yang tak kalah penting adalah perlindungan terhadap generasi muda dari paparan konten bermuatan negatif. Dave Laksono menegaskan bahwa salah satu tujuan revisi ini adalah untuk melindungi anak-anak dari konten yang bisa menggerus nilai moral. Maka, regulasi ini juga perlu memperhatikan sistem klasifikasi konten, mekanisme kontrol berbasis AI yang akurat, serta pelibatan masyarakat dalam pengawasan konten penyiaran.
Dalam menghadapi era digital, kita tidak bisa menolak teknologi, termasuk AI. Namun, kita juga tidak boleh menyerahkan sepenuhnya ruang publik kepada algoritma dan mesin. Jurnalisme tetap membutuhkan sentuhan nurani manusia, kedalaman analisis, dan akurasi yang tak tergantikan oleh kode-kode biner. Karena itu, regulasi AI dalam penyiaran harus mampu menjembatani kebutuhan efisiensi produksi dengan integritas profesi jurnalistik.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi, Indonesia membutuhkan sebuah kerangka hukum penyiaran yang progresif, adaptif, dan inklusif. Revisi UU Penyiaran adalah momentum untuk menata ulang lanskap media nasional agar mampu bersaing secara sehat di tengah arus globalisasi digital, tanpa meninggalkan nilai-nilai fundamental seperti kebebasan pers, keberagaman informasi, dan tanggung jawab sosial.
Semoga pembahasan revisi UU Penyiaran yang sedang berlangsung dapat menjadi tonggak sejarah menuju sistem penyiaran nasional yang lebih berdaya saing, adil, dan beradab di tengah revolusi teknologi informasi yang terus melaju tanpa henti.
)* Penulis merupakan mahasiswa Jurnalistik
Pemerintah Berikan Regulasi Penggunaan AI dalam Jurnalisme Melalui Revisi UU Penyiaran
