JAKARTA Pemerintah terus mengambil langkah antisipatif untuk meredam dampak negatif pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), yang dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan tren menurun. Tekanan terhadap rupiah disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal dan internal, di mana dominasi kebijakan perdagangan proteksionis AS menjadi salah satu pemicu utama.
Direktur Laba Forexindo dan pengamat mata uang, Ibrahim Assuabi, mengatakan perang dagang yang kembali digencarkan oleh Amerika Serikat berdampak langsung terhadap nilai tukar rupiah. Menurutnya, pengumuman Presiden AS Donald Trump terkait kenaikan tarif impor hingga 32 persen terhadap barang-barang asal Indonesia memperkuat tekanan terhadap kurs domestik.
“Ada kemungkinan besar rupiah menembus level psikologis Rp17.000 per dolar AS. Ini perlu diwaspadai,” ujar Ibrahim
Sebagai bentuk respons, Ibrahim menyarankan pemerintah Indonesia melakukan tindakan seimbang, yakni dengan menerapkan tarif impor serupa terhadap produk dari AS serta memperluas pasar ekspor ke negara-negara anggota BRICS.
Bank Indonesia (BI) didorong agar terus melakukan intervensi melalui mekanisme Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) guna menjaga stabilitas rupiah di tengah ketidakpastian global, katanya.
Senada, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pelemahan rupiah sebagian besar dipicu oleh kebijakan ekonomi dan moneter yang ditempuh oleh AS. Meski begitu, pemerintah menilai bahwa fondasi ekonomi nasional masih cukup kuat untuk menahan guncangan eksternal tersebut.
Pelemahan nilai tukar rupiah juga diiringi oleh penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang sempat menyentuh level terendah sejak pandemi Covid-19. Namun demikian, kondisi ini tidak mencerminkan krisis seperti tahun 1998, jelasnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, Solikin M. Juhro, menekankan bahwa pelemahan saat ini berlangsung secara bertahap dan masih dalam batas yang terkendali.
Kondisi saat ini masih jauh dari 1998. Cadangan devisa kita per Februari 2025 sebesar 154,5 miliar dolar AS, jauh lebih kuat dibandingkan era krisis yang hanya sekitar 20 miliar dolar AS, ujar Solikin.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan optimisme pemerintah bahwa nilai tukar rupiah akan kembali stabil. Fundamental ekonomi Indonesia tetap solid, dengan didukung oleh cadangan devisa yang kuat, peningkatan nilai ekspor, dan surplus neraca perdagangan.
Rupiah memang berfluktuasi, tetapi kita punya instrumen kebijakan yang bisa memperkuat posisi. Penempatan devisa hasil ekspor 100 persen di dalam negeri juga memperkuat ketahanan ekonomi kita, tutur Airlangga.
Dengan sinergi kebijakan fiskal dan moneter, serta langkah antisipatif terhadap dinamika global, pemerintah berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar dan mendukung ketahanan ekonomi nasional.