Oleh: Fikri Hidayat Ramadhan )*
Pasca Idul Adha 2025, perhatian terhadap penyelenggaraan ibadah haji Indonesia mengemuka di berbagai ruang publik. Bukan karena masalah atau keluhan, melainkan justru karena banyaknya apresiasi yang datang secara bertubi-tubi dari dalam dan luar negeri. Pelayanan yang humanis, aman, dan penuh empati terhadap seluruh jemaah menjadi wajah baru pengelolaan haji Indonesia yang kini terus menuai pujian luas.
Salah satu sorotan utama bahkan datang dari Pemerintah Arab Saudi. Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, Tawfiq F. Al-Rabiah, menyampaikan secara langsung apresiasi tinggi tersebut kepada Menteri Agama Nasaruddin Umar saat kunjungan resmi di Jeddah beberapa waktu lalu.
Pengelolaan haji Indonesia dinilai olehnya sama sekali tidak hanya fokus pada kepentingan jemaah dalam negeri saja, namun juga terus memberikan dampak positif bagi sistem haji bahkan secara global. Nilai humanitas yang diterapkan tersebut dianggap telah memperkaya praktik perhajian dunia dengan menerapkan pendekatan yang lebih beradab dan menyejukkan.
Menteri Nasaruddin melihat pengakuan dari Arab Saudi itu sebagai buah hasil dari adanya komitmen secara kolektif pada seluruh elemen dalam negeri. Ia menekankan bahwa pelayanan haji yang disiapkan selama ini bukan hanya sekadar untuk mengurus teknis logistik semata, melainkan untuk menciptakan atmosfer yang mendamaikan.
Pengalaman spiritual bagi seluruh jemaah menjadi fokus utama. Pelayanan yang diberikan tersebut mampu menampilkan wajah Islam yang ramah, menyejukkan, dan juga membahagiakan. Para Jemaah tidak disuguhi dengan birokrasi yang rumit, melainkan justru dilayani dengan adanya pendampingan yang penuh empati.
Apresiasi tersebut tidak datang dari satu arah saja. Di dalam negeri, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, Prof. H. Wan Jamaluddin, juga mengutarakan pandangan serupa.
Ia melihat penyelenggaraan haji tahun ini sebagai tonggak penting dalam reformasi pelayanan ibadah. Menurutnya, terobosan-terobosan yang dihadirkan Kementerian Agama menunjukkan bahwa negara hadir secara konkret bagi umat, bukan sebatas slogan.
Beberapa kebijakan seperti program tanazul, murur, dan safari wukuf disebut Prof. Wan sebagai bentuk nyata inovasi yang sangat berpihak pada jemaah lanjut usia dan penyandang disabilitas.
Terobosan tersebut tidak hanya membantu jemaah menjalankan ibadah secara lebih mudah, tetapi juga menghadirkan pengalaman spiritual yang bermartabat. Dalam pandangan akademisi tersebut, pelayanan yang ramah disabilitas merupakan cermin pelayanan berbasis nilai-nilai Islam yang inklusif dan berkeadilan.
Selain aspek teknis, langkah pemerintah menurunkan biaya haji juga dianggap sebagai strategi jangka panjang yang bijak. Penurunan biaya dilakukan tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Efisiensi dana, optimalisasi masa tinggal, serta peningkatan kualitas akomodasi memperlihatkan tata kelola haji yang semakin transparan dan bertanggung jawab. Hal ini memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Tak hanya dari sisi kebijakan, kekuatan utama dari pelayanan haji tahun ini terletak pada kehadiran sumber daya manusia yang berdedikasi di lapangan. Salah satunya terlihat dari peran Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi yang secara khusus menyiapkan 183 petugas untuk mendampingi jemaah lansia dan disabilitas.
Kepala Bidang Layanan Lansia, Disabilitas, dan Penanganan Krisis dan Pertolongan Pertama pada Jemaah Haji (PKP2JH), Suviyanto, menjelaskan bahwa petugas tersebut disebar di tiga titik utama yaitu Makkah, Madinah, dan Bandara.
Meskipun rasio ideal antara petugas dan jumlah jemaah lansia belum sepenuhnya terpenuhi, semangat dan komitmen para petugas di lapangan tetap tak surut. Suviyanto menyatakan bahwa para petugas terus berupaya semaksimal mungkin memberikan layanan yang layak dan penuh hormat. Keterbatasan tenaga tidak menjadi alasan untuk abai terhadap kualitas pelayanan. Pendampingan dilakukan dengan pendekatan yang manusiawi dan penuh kehangatan.
Pengelolaan haji tahun ini memang tampak bertransformasi secara menyeluruh. Tak lagi terpaku pada pendekatan administratif semata, melainkan sudah beralih menjadi sistem pelayanan yang menempatkan jemaah sebagai pusat dari segala kebijakan.
Transformasi ini tidak bisa dilepaskan dari arahan Presiden Prabowo yang menekankan pentingnya memberikan pelayanan sepenuh hati. Menteri Nasaruddin pun merespons dengan menjadikan “senyum jemaah” sebagai indikator keberhasilan utama.
Tiga senyuman yang dimaksud adalah senyuman ketika jemaah membayar biaya haji yang lebih terjangkau, senyuman saat menerima pelayanan optimal di Tanah Suci, dan senyuman terakhir ketika pulang ke tanah air dalam keadaan sehat dan meraih predikat haji mabrur. Gagasan ini bukan sekadar retorika, melainkan filosofi pelayanan publik berbasis kasih sayang dan nilai spiritual.
Penyelenggaraan haji 1446 H/2025 M menjadi bukti bahwa reformasi pelayanan dapat diwujudkan melalui kolaborasi lintas institusi. Ketika pemerintah, tenaga lapangan, akademisi, dan masyarakat saling bersinergi, hasilnya adalah sistem pelayanan ibadah yang bukan hanya efisien, tetapi juga menyentuh hati. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mampu menjadi contoh dalam penyelenggaraan haji yang berkelas dunia.
Apresiasi yang mengalir dari Arab Saudi, akademisi, hingga petugas lapangan menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia sedang berada di jalur yang tepat dalam menyelenggarakan ibadah haji. Melalui pelayanan yang aman dan humanis, Indonesia tidak hanya melayani jemaahnya, tetapi juga turut serta membentuk wajah perhajian global yang lebih manusiawi dan penuh kedamaian. (*)
)* Pengamat Kebijakan Publik – Lembaga Kajian Sosial Nusantara
[edRW]