Oleh: Maskawi Syaifuddin )*
Di tengah gejolak pasar global yang dipicu oleh kebijakan tarif agresif dari pemerintahan Presiden Donald Trump, Indonesia menunjukkan daya tahan ekonomi yang patut diapresiasi. Ketika Amerika Serikat memberlakukan tambahan tarif impor terhadap barang-barang dari Tiongkok dan menunda negara lainnya selama 90 hari, dunia menghadapi gelombang ketidakpastian baru. Aksi balasan dari Beijing hanya memperbesar eskalasi tensi dagang dan membuat pasar keuangan internasional bergerak liar. Namun, dalam situasi seperti ini, ketangguhan ekonomi Indonesia justru semakin terlihat, meski Indonesia masuk daftar tarif Trump. Hal ini mencerminkan keberhasilan strategi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional, terutama nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG), serta dalam meredam dampak dari tekanan eksternal.
Rupiah yang hanya melemah tipis sebesar 0,8% selama periode 2 hingga 8 April 2025 menjadi bukti nyata bahwa pemerintah mampu menahan tekanan global yang cukup besar. Dibandingkan dengan negara-negara lain, pelemahan rupiah tergolong minimal. Brasil dan Meksiko bahkan mencatatkan pelemahan mata uang yang jauh lebih signifikan. Tidak hanya itu, mata uang negara-negara maju seperti Euro dan Yen pun mengalami tekanan lebih besar. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pasar masih memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap rupiah dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari intervensi strategis Bank Indonesia yang terus menjaga stabilitas pasar melalui pendekatan triple intervention. Langkah-langkah yang mencakup intervensi di pasar valuta asing, transaksi DNDF (Domestic Non Deliverable Forward), serta pembelian surat berharga negara di pasar sekunder, telah memberikan ketenangan bagi pelaku pasar. Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, menyampaikan intervensi ini berhasil menjaga kestabilan nilai tukar secara kontinyu, bahkan di tengah situasi global yang tidak bersahabat.
Dari sisi pasar saham, meskipun IHSG sempat terkoreksi hingga 7,8%, skala koreksi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara lain yang menghadapi tekanan lebih besar. Indeks saham di Argentina, Vietnam, bahkan negara-negara Eropa seperti Italia dan Jerman, menunjukkan penurunan dua digit. Pemerintah memahami bahwa pergerakan pasar saham memang sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan global, terutama jika berkaitan dengan kekuatan ekonomi utama dunia. Namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana pasar mampu melakukan penyesuaian secara cepat. Hal ini terbukti dari penguatan kembali IHSG beberapa hari kemudian, bahkan menunjukkan potensi rebound ke level 6.500, seiring adanya penundaan kebijakan tarif AS selama 90 hari.
Presiden Prabowo Subianto menanggapi dinamika ini dengan pandangan yang optimistis. Baginya, pasar saham bukanlah satu-satunya indikator kekuatan ekonomi nasional. Ia menilai bahwa kekuatan riil Indonesia terletak pada fundamental ekonomi yang kuat, seperti stabilitas fiskal, rendahnya rasio utang, serta prospek investasi jangka panjang yang menjanjikan. Pernyataan ini mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan ekonomi yang berorientasi pada jangka panjang, tidak terjebak pada fluktuasi jangka pendek yang kerap mewarnai pasar modal.
Kinerja pasar obligasi menjadi indikator tambahan bahwa kepercayaan investor terhadap Indonesia tetap tinggi. Saat banyak negara mengalami penurunan yield akibat lonjakan permintaan atas safe haven assets, Indonesia justru mencatat kenaikan imbal hasil, yang menunjukkan adanya inflow dan minat kuat dari investor. Artinya, obligasi pemerintah Indonesia masih dianggap menarik, bahkan dalam iklim investasi yang cenderung penuh kehati-hatian. Ini adalah sinyal positif yang menunjukkan ketahanan struktural ekonomi Indonesia, sekaligus keberhasilan pemerintah menjaga daya tarik investasi.
Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi yang masih terkendali di angka 1,03% secara tahunan pada Maret 2025. Ini menambah daftar indikator makroekonomi yang mendukung stabilitas nasional. Ditambah dengan posisi cadangan devisa yang terus meningkatmencapai US$151,2 miliar pada awal tahunmaka dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki bantalan yang kokoh untuk menghadapi tekanan eksternal. Kebijakan fiskal pun dikelola secara disiplin, dengan defisit yang tetap dalam batas aman, serta penguatan penerimaan negara dari sektor pajak dan ekspor nonmigas.
Kondisi perdagangan luar negeri juga mencerminkan kemampuan Indonesia dalam menjaga kinerja ekspor, meskipun ada tekanan dari kebijakan proteksionis AS. Ekspor nonmigas ke Amerika Serikat tetap menyumbang surplus yang signifikan, menandakan daya saing produk Indonesia masih tinggi. Pemerintah pun telah mengambil langkah proaktif dengan mendiversifikasi pasar ekspor dan menjajaki kerja sama dengan negara-negara BRICS dan kawasan Afrika, sebagai strategi memperluas pasar dan mengurangi ketergantungan pada satu negara tujuan.
Langkah-langkah strategis pemerintah dalam merespons gejolak global tidak hanya berhasil menjaga stabilitas domestik, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di mata dunia. Dalam situasi yang penuh tantangan, Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga menunjukkan sinyal bahwa negara ini siap menghadapi tekanan eksternal dengan kepala tegak. Keputusan untuk tetap melanjutkan program investasi infrastruktur, mendorong inovasi industri, dan menjaga kelangsungan reformasi struktural merupakan bentuk keberanian yang perlu mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat.
)* Ekonom yang juga Pemerhati Kebijakan Publik