Indikator Ekonomi Indonesia Tetap Sehat di Tengah Kebijakan Trump dan Pelemahan Rupiah

Indikator Ekonomi Indonesia Tetap Sehat di Tengah Kebijakan Trump dan Pelemahan Rupiah

Oleh : Setiawan Widhiyatmoko)*

Pemerintah Indonesia berhasil menjaga stabilitas perekonomian nasional di tengah tekanan global yang muncul akibat kebijakan tarif impor Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan melemahnya nilai tukar rupiah.

Di saat banyak negara mengalami ketegangan akibat meningkatnya ketidakpastian ekonomi dunia, Indonesia justru menunjukkan ketahanan yang signifikan melalui berbagai indikator ekonomi yang tetap dalam kondisi sehat dan terkelola dengan baik.

Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, menjadi pemicu utama ketidakpastian global. Tarif impor sebesar 32 persen yang diberlakukan terhadap produk-produk Indonesia menimbulkan keresahan di berbagai sektor, terutama perdagangan dan industri ekspor.

Namun demikian, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia tidak berada dalam posisi yang genting. Kepala Negara menyatakan bahwa perekonomian nasional memiliki daya tahan yang cukup kuat untuk menghadapi tekanan eksternal, terlebih jika bangsa ini bersatu dan fokus membangun kemandirian ekonomi.

Presiden Prabowo melihat bahwa ketergantungan terhadap kekuatan asing harus dikurangi secara signifikan. Menurutnya, para pendiri bangsa sejak awal telah menekankan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri dalam bidang ekonomi.

Kepala Negara mengingatkan kembali bahwa Indonesia tidak perlu panik secara berlebihan. Prospek pertanian dan sektor-sektor domestik lainnya masih sangat potensial untuk dikembangkan sebagai fondasi kekuatan ekonomi nasional.

Dalam menghadapi kebijakan dagang AS, pemerintah juga telah menyiapkan langkah-langkah diplomatik dengan membuka ruang negosiasi untuk menyuarakan kepentingan nasional secara adil dan setara.

Lebih jauh, pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi tantangan perdagangan global tersebut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa meskipun gejolak pasar terjadi akibat kebijakan perdagangan AS, indikator makroekonomi Indonesia tetap dalam kondisi stabil.

Airlangga menjelaskan bahwa probabilitas resesi Indonesia hanya sekitar 5 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat yang mencapai 60 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa ekonomi domestik tidak hanya tangguh, tetapi juga cukup responsif dalam menghadapi dinamika global.

Peringkat daya saing Indonesia di tingkat global juga mencatatkan peningkatan. Berdasarkan laporan IMD, posisi Indonesia melonjak ke peringkat 27 dari 67 negara, sebuah pencapaian signifikan yang mencerminkan efisiensi sektor bisnis dan performa ekonomi yang membaik. Pemerintah terus memperkuat daya saing melalui berbagai program reformasi struktural dan penyederhanaan regulasi.

Airlangga juga menjelaskan bahwa pemerintah telah menjalin komunikasi intensif dengan perwakilan dagang Amerika Serikat melalui US Trade Representative (USTR). Dalam proses negosiasi tersebut, Indonesia mengajukan proposal yang mencakup penyesuaian tarif impor, pengenaan PPN atas produk-produk Amerika, serta peningkatan impor terhadap komoditas tertentu seperti gandum, kapas, dan produk minyak dan gas. Strategi ini diambil guna menyeimbangkan neraca perdagangan dan memperkecil defisit yang kini mencapai 18 miliar dolar AS.

Di sisi lain, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan bahwa ketergantungan ekspor Indonesia terhadap Amerika Serikat relatif kecil. Hanya sekitar 10 persen dari total ekspor nasional yang mengarah ke AS, sementara kontribusi ekspor terhadap PDB pun hanya mencapai 23,8 persen.

Hal ini menjadi penanda bahwa ekonomi Indonesia masih didominasi oleh kekuatan pasar domestik, sehingga guncangan dari luar negeri tidak secara langsung mengganggu stabilitas secara menyeluruh.

Luhut menekankan bahwa pemerintah telah melakukan simulasi dan evaluasi yang mendalam terhadap potensi dampak kebijakan tarif dari AS. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia masih berada dalam posisi aman selama semua pemangku kepentingan menjaga kekompakan dan bekerja sama secara sinergis.

Ketua DEN tersebut juga mengingatkan bahwa dalam masa-masa sulit seperti pandemi COVID-19, Indonesia terbukti mampu keluar dari tekanan global dengan lebih cepat dibanding banyak negara lain. Pengalaman tersebut menjadi landasan optimisme dalam menghadapi tantangan yang sedang berlangsung.

Lebih lanjut, Luhut menilai bahwa depresiasi rupiah yang terjadi saat ini belum melampaui ambang batas yang membahayakan. Nilai tukar rupiah yang melemah justru dapat membantu menyeimbangkan beban tarif tinggi karena meningkatkan daya saing ekspor. Pemerintah juga telah merespons dengan cepat melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan reformasi struktural, yang dinilai mampu mengimbangi dampak kebijakan Trump.

Ketahanan ekonomi Indonesia bukan semata-mata hasil respons jangka pendek, tetapi juga merupakan buah dari konsistensi reformasi dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah berfokus pada penguatan fondasi ekonomi melalui industrialisasi berbasis sumber daya nasional, pembangunan infrastruktur, serta penguatan sektor pertanian dan energi. Pendekatan ini bertujuan menciptakan pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Secara keseluruhan, meski kebijakan proteksionis dari Amerika Serikat menimbulkan dampak global, ekonomi Indonesia tetap menunjukkan sinyal positif. Kombinasi strategi diplomatik, kekuatan pasar domestik, dan efektivitas kebijakan fiskal telah menciptakan stabilitas yang memungkinkan Indonesia bertahan dan bahkan berkembang di tengah badai ketidakpastian global.

Pemerintah menunjukkan kesiapannya dalam menjaga momentum pertumbuhan, sekaligus membuktikan bahwa ekonomi nasional memiliki daya tahan menghadapi tekanan eksternal yang terus berkembang. (*)

)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Instutute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *